upah mengupah

Tugas kelompok

UPAH MENGUPAH MENURUT HUKUM PERDATA ISLAM

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Disusun Oleh Kelompok 6
Putri Puspita Antasari 1121030013
Raisa Marceni Fasya 1121030016
Riska SamSam Purwasih 1121030037

DOSEN : Imelda Soraya S.Ei.,M.Ei

FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
RADEN INTAN LAMPUNG
2013 M / 1435 H

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqih sering menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
Sebelum dijelaskan pengertian upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafii berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah.
Menurut Sulaiman Rasjid, Mempersewakan merupakan akad atas manfaat (jasa) dengan maksud yang diketahui, dengan tukaran yang diketahui menurut syarat-syarat tertentu.
Pihak yang menyewakan sesuatu disebut Muajjir, pihak yang menyewa disebut mustajir dan objek yang dijadikan sasaran yang berwujud imbalan dalam berijarah disebut al-maqud alaih, serta imbalan atas jasa yang diberikan disebut upah (ijarah).

2. Rumusan masalah
Bagaimana Upah Mengupah didalam Hukum Perdata Islam ?

B. PEMBAHASAN

1. Penertian Upah Mengupah
Menurut etimologi Ijarah berasal dari kata Al-ajru yang artinya al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti atau upah. Sedangkan menurut istilahnya, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisakan Ijarah. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi Ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :
a. Ulama Hanafiyah:
عقد على المنا فع بعوض

Artinya: ” Akad atas sesuatu kemanfaatan dengan pengganti.”

b. Ulama Asy-Syafi’iyah:

عقد علىى منفعة مقصود ة معلو مة مبا حة قا بلة للبذ ل والاءبا حة بعو ض معلوم

Artinya: ”Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu yang mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”

c. Ulama Malikiyah dan Hambaliyah:

تمليك منا فع شى ء مبا حة مد ة معلو مة بعوض

Artinya: ”Menjadikan milik sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”

Upah mengupah (ijaratu al-ajir) adalah memberikan suatu jasa (berupa tenaga maupun keahlian) pada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah (ujrah). Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa. Misalnya ongkos kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan lain-lain.
Hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : “ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).

2. Dasar Hukum Upah Mengupah
a) Al-Qur’an
Allah Swt berfirman,
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telahmenentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagianyang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Q.S. Az Zukhruf 43 : 32)
Allah Swt berfirman,
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Jika mereka telah menyusukan anakmu maka berilah upah mereka”. (Q.S. Ath-Thalaq 65 : 6)
Allah Swt berfirman,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (Q.S. Al-Qashash 28 : 26)
b) as-Sunnah
Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh.Lalu Rasulullah Saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)
Rasulullah Saw bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada orang yang membekamnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang meminta menjadi buruh (pekerja), beritahukanlah upahnya”. (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)

c) Ijma
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam.

3. Rukun dan Syarat Upah Mengupah
a. Musta’jir
pihak tertentu baik perorangan, perusahaan/kelompok maupun negara sebagai pihak yang mengupah.
b. ajir (orang yang diupah).
Baik ajir maupun musta’jir tidak diharuskan muslim. Islam membolehkan seseorang bekerja untuk orang non muslim atau sebaliknya mempekerjakan orang non muslim.
c. Shighat (akad)
Syarat ijab qabul antara ajir dan musta’jir sama dengan ijab qabul yang dilakukan dalam jual beli.
d. Ujrah (upah)
Dasar yang digunakan untuk penetapan upah adalah besarnya manfaat yang diberikan oleh pekerja (ajiir) tersebut. Bukan didasarkan pada taraf hidup, kebutuhan fisik minimum ataupun harga barang yang dihasilkan. Upah yang diterima dari jasa yang haram, menjadi rizki yang haram.
e. Ma’qud alaihi (barang yang menjadi Obyek)
Sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada pekerjaan yang dikerjakan dengan beberapa syarat. Adapun salah satu syarat terpenting dalam transaksi ini adalah bahwa jasa yang diberikan adalah jasa yang halal.Dilarang memberikan jasa yang haram seperti keahlian membuat minuman keras atau membuat iklan miras dan sebagainya.
Asal pekerjaan yang dilakukan itu dibolehkan Islam dan aqad atau transaksinya berjalan sesuai aturan Islam. Bila pekerjaan itu haram, sekalipun dilakukan oleh orang non muslim juga tetap tidak diperbolehkan.
• Rasullullah Muhammad saw. sendiri diriwayatkan pernah meminta orang yahudi sebagai penulis dan penterjemah. Juga pernah meminta orang musyrik sebagai penunjuk jalan.
• Abu Bakar dan Umar Bin Khattab pernah meminta orang Nashrani untuk menghitung harta kekayaan.
• Ali bin Abi Thalib diminta oleh orang yahudi untuk menyirami kebun dengan upah tiap satu timba sebutir kurma.
Para ulama menetapkan syarat upah, yaitu:
a. Berupa harta tetap yang dapat diketahui.
b. Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.

4. Waktu Pembayaran Upah
Pada dasanya pembayaran upah harus diberikan seketika juga, sebagaimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga. Tetapi sewaktu perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan. Jadi pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya. Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera diberikan manakala pekerjaan sudah selesai. Nabi bersabda: “Upah harus diberikan sebelum peluhnya kering.”
Kematian orang yang mengupah atau diupah tidak membatalkan akad pengupahan. Artinya, kalau orang yang mengupah mati, padahal permintaannya sudah dikerjakan oleh orang yang diupah, keluarganya wajib memberikan upahnya. Tetapi kalau orang yang diupahnya mati sebelum menerima upahnya, ahli warisnya menerima upahnya. Tetapi kalau mati sebelum menyelesaikan pekerjaan, urusannya di tangan Allah.
Dalam transaksi ini, bentuk pekerjaan (al-‘amal dan al-juhd), lamanya pekerjaan (muddatu al-‘amal) dan upah (ujrah) harus jelas. Rasullullah SAW berkata:
”Apabila salah seorang diantara kalian mempekerjakan seseorang, maka hendaknya memberitahukan upahnya kepada orang itu”,
Jika Ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya.

5. Upah Mengerjakan Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan membaca Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazdhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewanya, azan, qamat dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut. Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”. Rasulullah Saw bersabda, “Jika kamu mengangkat seseorang menjadi mu’adzin maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah”.
Perbuatan seperti azan, qamat, shalat, haji, shaum, membaca Al-Qur’an dan zikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di nusantara, apabila seorang muslim wafat, maka keluarganya menyuruh para santri atau muslim lainnya untuk membaca Al-Qur’an di rumahnya selama 3 malam atau malam ke-7 atau malam ke-40. Setelah selesai pembacaan Al-Qur’an pada waktu yang telah ditentukan, mereka diberi upah.
Pekerjaan ini batal menurut Islam karena membaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an berniat karena Allah, maka pahala pembacaan ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain.
Allah Swt berfirman,
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 286)

Beberapa pendapat ulama madzhab tentang upah dalam ibadah :
a. Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.
b. Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
c. Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang lainnya.
d. Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh.

6. Batal atau Berakhirnya Upah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh. Agama menghendaki agar dalam pelaksanaan Ijarah itu senantiasa diperhatikan ketentuan-ketentuan yang bisa menjamin pelaksanaannya yang tidak merugikan salah satu pihak pun serta terpelihara pula maksud-maksud mulia yang diinginkan agama.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila barang yang ditangannya rusak.
Menurut ulama Syafi’iyah, jika ajir bekerja di tempat yang dimiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan upah. (Asy-Syrazi, Op.Cit, juz 1, hlm. 409) pendapat tersebut senada dengan pendapat ulama hanabilah (Ibn Qudamah, Op. Cit, juz V, hlm. 487).
Ulama Hanafiyah juga hamper senada dengan pendapat di atas. Hanya saja diuraikan lagi:
a. Jika benda ada ditangan ajir
 Jika da bekas pekerjaan, ajir berhak mendapatkan upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.
 Jika tidak ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir
b. Jika benda berada di tangan penyewa. Pekerja berhak mendapat upah setelah selesai bekerja.

C. PENUTUP

1. Kesimpulan
Akad Ijarah merupakan akad jual beli, namun demikian, dalam Ijrah kepemilikan barang dibatasi dengan waktu. Al-Ijarah bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang. Adapun rukun dan syarat Ijarah adalah ‘Aqid (Mu’jir dan Musta’jir), Shighat akad, Ujrah (upah), Manfaat. Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.

Saran Kritik
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap semoga makalah ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi agar teman-teman bisa membuat makalah yang lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Djuwaini, Dimyauddin. 2008, Fiqh Muamalah.
Jusmaliani. 2008. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara.
Karim, Helmi. 1997, Fiqh Muamalah.
Suhendi, H. Hendi, 2010. Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm119-121.
Syafei, H. Rachmat, 2001. Fiqh Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia.

Tinggalkan komentar